PENERAPAN
PENGAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS MASALAH UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR
BIOLOGI SISWA KELAS X2 SMA LABORATORIUM SINGARAJA
I Gusti Agung Nyoman Setiawan
Jurusan
Pendidikan Biologi Fakultas MIPA Undiksha
Abstrak
Penelitian
Tindakan Kelas dengan judul Penerapan Pengajaran Kontekstual Berbasis Masalah
Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Biologi Siswa kelas X2 SMA
Laboratorium ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan aktivitas siswa
dalam mengikuti pelajaran dan hasil belajar biologi siswa. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan interaksi siswa dalam mengikuti pelajaran
dan hasil belajar biologi bagi siswa kelas X2 SMA Laboratorium Undiksha.
Pendahuluan
Salah
satu tuntutan kurikulum berbasis kompetensi dalam mata pelajaran biologi di SMA
adalah agar siswa menguasai berbagai konsep dan prinsip biologi untuk
mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap percaya diri sehingga dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan sebagai bekal untuk melanjutkan
pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi.
Untuk
mencapai tujuan agar siswa mempunyai minat dan kemampuan yang baik terhadap
biologi berimplikasi pada tugas dan tanggung jawab yang sangat strategis pada
guru-guru pengajar biologi di kelas-kelas awal di SMA. Mereka dituntut membantu
siswa untuk mendapatkan pemahaman yang baik terhadap konsep-konsep dan
prinsip-prinsip biologi untuk memudahkan mereka mempelajari biologi di kelas
yang lebih tinggi. Di samping itu pengajar di kelas-kelas awal diharapkan dapat
menumbuhkan sikap positif terhadap biologi serta membangkitkan minat mereka
terhadap biologi. Ini berarti proses pembelajaran biologi yang dilakukan guru
hendaknya memungkinkan terjadinya pengembangan pemahaman konsep, sikap, dan
meningkatkan minat siswa terhadap pelajaran biologi.
Pembelajaran
berdasarkan masalah sebagai salah satu strategi pembelajaran kontekstual
membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah dan
keterampilan intelektual berupa belajar berbagai peran orang dewasa dan melalui
pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi dan menjadi pebelajar
yang otonom. (Arends, 1997; Arends, 2004; Delisle, 1997). Kemampuan berpikir
sudah dimiliki siswa sejak mereka lahir. Makin sering orang berhadapan dengan
sesuatu yang menuntutnya untuk berpikir makin berkembang dan makin meningkat
kemampuan berpikirnya. Seseorang yang tidak memiliki pendidikan formal
sekalipun kemampuan berpikirnya akan meningkat apabila dia sering berhadapan
dengan berbagai masalah yang harus dipikirkannya (Depdikbud, 1999). Pembelajaran
berdasarkan masalah juga meningkatkan kemampuan menjawab pertanyaan terbuka
dengan banyak alternatif jawaban benar dan pada akhirnya mampu meningkatkan
kemampuan berpikir kritis berupa peningkatan dari pemahaman ke aplikasi,
sintesis dan analisis (Kronberg dan Griffin, 2000), dan menjadikannya sebagai
pebelajar mandiri (Ommundsen, 2000; Hmelo, 1995).
Metode
Penelitian ini
dilaksanakan di SMA Laboratorium Undiksha Singaraja pada kelas X2.
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli 2006 sampai dengan pertengahan
Nopember 2006. Subjek Penelitian ini adalah siswa kelas X2 SMA
Laboratorium Undiksha Singaraja. Penelitian ini dilakukan pada semester ganjil
2006/2007. Penelitian berlangsung selama 6 (enam bulan) dari bulan Juni 2006
s/d bulan Nopember 2006. Pelaksanaan tindakan dilakukan pada bulan Juli 2006
s/d bulan Oktober 2006.
Kegiatan-kegiatan
yang dilakukan pada tahap perencanaan adalah sebagai berikut: (a) Bersama-sama
dua orang guru mitra menganalisis kompetensi dasar dan indikator, serta materi
yang akan diajarkan dalam rentang waktu Juni s/d Oktober 2006. (b) Bersama guru
mitra menyiapkan bahan dan alat laboratorium yang ada serta merancang peralatan
yang diperlukan untuk kegiatan demonstrasi atau praktikum. (c) Bersama guru
mitra merancang skenario Pengajaran Kontekstuan berbasis masalah. (d) Menyusun
rubrik assessmen kegiatan diskusi dan tanya jawab untuk mengukur kualitas
interkasi kelas. (e) Menyusun soal-soal akademik maupun realistik untuk
digunakan dalam latihan pemecahan masalah maupun dalam test formatif untuk
mengukur hasil belajar dalam aspek kognitif. (f) Menyusun rubrik assessment
kinerja kegiatan laboratorium untuk mengukur hasil belajar pada aspek
psikomotor. (g) Menyusun rubrik untuk mengukur sikap siswa terhadap pelajaran
biologi. (h) Melatih guru mengimplementasikan Pengajaran Kontekstual berbasis
masalah
Tutorial/Responsi
dilakukan setelah tiga kali pertemuan. Pada kegiatan tutorial/responsi
siswa dibimbing menyelesaikan masalah-masalah akademik dan realistik secara
sistematis. Pemberian dua jenis masalah ini dimaksudkan untuk memberikan
pemahaman bahwa konsep-konsep yang dipelajari bukan hanya untuk kepentingan
akademik tetapi juga untuk mengatasi masalah sehari-hari. Pada tahap ini siswa
dibimbing untuk dapat memvisualisasikan masalah, menyatakan dalam deskripsi
fisika, merencanakan solusi, menyelesaikan solusi, dan mengevaluasi jawabannya.
Observasi
dilakukan terhadap kesesuaian antara skenario pembalajaran dan implementasinya,
pengajaran pemecahan masalah, perhatian dan kesungguhan siswa dalam
pembelajaran. Observasi dilakukan berbarengan dengan pelaksanaan tindakan, dan
dilakukan oleh dua orang anggota tim peneliti.
Hasil
Proses penelitian
pada siklus I yang membahas ruang lingkup Biologi, manfaat dan bahayanya
berlangsung dalam dua kali pertemuan. Pertemuan pertama diisi dengan penjelasan
tentang kegiatan yang dilakukan dalam mengerjakan LKS berbasis masalah. Kemudian siswa dituntut untuk memecahkan
masalah-masalah autentik serta srukturnya tidak teratur sesuai dengan tujuan
pembelajaran (ill structure).
Pelaksanaan siswa
dalam membahas masalah tersebut banyak mengalami kesulitan guru beserta
peneliti ikut membantu ke masing-masing kelompok dalam mengarahkan apa yang
harus mereka pikirkan dan bahas sehubungan dengan masalah tersebut yang
muaranya mengetahui ruang lingkup biologi manfaat dan bahayanya, baik itu dari
uraian cabang-cabang biologi maupun dari struktur tingkat organisasi biologi
dari sel sampai biosfer. Bimbingan yang dilakukan tidak langsung memberikan
jawaban atas masalah yang dibahas akan tetapi berupa alternatif-alternatif
pemecahan masalah tersebut. Dengan cara seperti itu siswa akhirnya selalu
berpikir untuk memecahkan masalah atau mencari jawaban atas masalah yang sedang
dihadapi.
Pada pertemuan
kedua pelaksanaan kerja kelompok berjalan lebih lancar, siswa terlihat lebih
banyak bekerja dibandingkan bertanya. Ini menunjukkan apa yang harus dikerjakan
telah dimengerti. Dari diskusi yang dilakukan diketahui kelompok mana yang
penguasaan materinya paling bagus. Kriteria yang digunakan dalam menilai adalah
hasil kerja kelompok dan kemampuan menjawab pertanyaan dari kelompok lain
maupun dari guru. Akhir dari kegiatan ini adalah siswa bersama guru
menyimpulkan dan menyempurnakan jawaban siswa. Kemudian Guru mengecek
penguasaan materi ini dengan mengajukan beberapa pertanyaan pada beberapa
siswa.
Pelaksanaan siklus
kedua yang direncanakan tiga kali pertemuan, realisasinya hanya dua kali
pertemuan. Proses diskusi kelompok berjalan lebih lancar dibandingkan dengan
kegiatan pada siklus satu, melalui bimbingan siswa selanjutnya membuat sejumlah
masalah yang membahas tentang keanekaragaman hayati mulai dari keanekaragaman
tingkat jenis, sampai keanekaragaman tingkat ekosistem. Siswa disuruh
mengurutkan prioritas pemecahan masalah sesuai dengan kesepakatan kelompok,
apakah mulai dari keanekaragaman tingkat jenis atau mulai dari keanekaragaman
tingkat ekosistem.
Pada diskusi ini,
lebih banyak masalah diseputar topik yang disampaikan dibandingkan dengan
diskusi pada siklus pertama. Dari banyaknya masalah yang disampaikan serta
lebih banyak siswa berpartisipasi menandakan proses belajar berbasis masalah
telah berlangsung lebih baik. Walaupun keterlibatan sudah lebih banyak dan
masalah lebih beragam, namun tingkat kesulitan masalah serta pembahasan dari
siswa perlu ditingkatkan. Disinilah peran guru untuk mengarahkan sehingga siswa
selalu berpikir untuk membahas masalah lebih dalam dan alternatif pemecahan
masalah lebih beragam.
Pada pertemuan
kedua siklus II ini siswa diberikan LKS berupa pengelompokan makhluk hidup
berdasarkan ciri yang ditentukan oleh kelompok siswa tersebut.
Pada Siklus ketiga
yang direncanakan dilaksanakan dalam delapan kali tatap muka untuk keseluruhan
materi sampai akhir semester
Pada pelaksanaan
tatap muka kedua siklus III ini yang membahas Monera utamanya bakteri diberikan
LKS berupa penyakit Kelamin Spilis dan LKS berupa pemanfaatan mikroba khususnya
bakteri pada pembersihan air limbah, maupun penggunaan EM4 (Effective
microorganism) yang membantu proses perombakan bahan organik dalam tanah
sehingga mengurangi penggunaan pupuk buatan. Dari masalah-masalah tersebut
siswa menjadi mengerti mikroorganisma tersebut yang langsung bermanfaat bagi
kehidupan sehari-harinya, sehingga belajar menjadi lebih bermakna. Proses kerja
kelompok menjadi lebih serius karena siswa mengerjakan apa yang dia belum
ketahui menjadi terpikirkan oleh siswa. Guru memberikan penjelasan secara
ringkas prinsip-prinsipnya kemudian contoh pengembangannya ditugaskan pada
siswa untuk mencarinya.
Pembahasan
Berdasarkan
diskripsi proses dan hasil penelitian di atas dapat dikemukakan bahwa
pembelajaran berbasis masalah yang digunakan sebagai solusi untuk meningkatkan
penguasaan konsep telah menunjukkan hasilnya. Pembelajaran yang diseting dalam
kerja kelompok dalam karangka memecahkan masalah telah mampu menunjukkan hasil
yang sangat baik. Hal ini diakibatkan karena proses pengkonstruksian
pengetahuan dilakukan secara bersama-sama menggantikan proses pembelajaran
klasikal dengan sistem ceramah yang proses pengkonstruksian pengetahuan
dilakukan sendiri-sendiri sesuai dengan apa yang ditangkap oleh siswa secara
individu. Pengkonstruksian pengetahuan secara bersama-sama melalui kerja
kelompok memungkinkan siswa dapat meng-ungkapkan gagasan, mendengarkan pendapat
orang lain dan secara bersama-sama membangun pengertian (Von Glasersfeld, 1989
dalam Pannen et al., 2001). Ride-way dan Padilla, (1998) menyatakan
bahwa melalui diskusi yang dilakukan bersa-ma-sama dalam satu kelompok
merupakan panduan dalam meningkatkan kemam-puan berpikirnya. Dari pernyataan
tersebut terlihat bahwa proses berpikir siswa dilakukan melalui diskusi.
Diskusi yang aktif tentu melibatkan semua anggota kelompok yang sedang
berdiskusi. Kebiasaan yang selalu dilatih melalui kegiatan kerja bersama
memungkinkan kemampuan siswa tidak terlalu jauh berbeda. Trautmann et al (2000)
mengatakan bahwa penyelidikan bersama-sama mening-katkan motivasi untuk bekerja
lebih keras dan mendorong siswa untuk berpikir kritis dan mendiskusikan setiap
asumsi dan interpretasi yang dimilikinya. Dengan melakukan interpretasi secara
bersama-sama pandangan terhadap suatu masalah menjadi sama sehingga jika semua
kegiatan dilakukan seperti ini maka secara otomatis semua pengetahunan yang
dimiliki oleh siswa menjadi sama.
Wang et al (1998)
berpendapat bahwa belajar kelompok sangat penting dalam pembelajaran
berdasarkan masalah. Dalam kerja kelompok setiap siswa yang menjadi anggota
kelompok mendapatkan tanggung jawab dalam kesuksesan kelompoknya. Mereka saling
membantu untuk mengetahui dimana, apa dan ba-gaimana mereka mempelajari
informasi itu. Dengan demikian pembentukan ke-lompok dalam strategi
pembelajaran berdasarkan masalah menjadikan siswa pebe-lajar yang aktif, karena
setiap anggota kelompok memegang tanggung jawab ter-tentu untuk kesusksesan
kelompoknya.
Dalam pembelajaran
berdasarkan masalah yang membahas masalah autentik dengan struktur yang
kompleks dan tidak teratur jarang ditemukan langkah yang sama dalam
pemecahannya. Siswa selalu diajak berpikir bagaimana menemukan jalan keluar
melalui langkah kunci. Masalah autentik sesungguhnya berubah-ubah pada tujuan,
isi, rentangan, dan pengaruhnya tidak linier. Latihan-latih-an memecahkan
masalah autentik ini menjadikan siswa selalu memberdayakan kemampuan berpikirnya
dan menjadikan siswa mempunyai kemampuan berpikir yang lebih tinggi sehingga
mampu memecahkan masalah riil dan mengkaitkannya dengan tujuan pembelajaran
yang ingin dicapai(Jones, 1996).
Pembelajaran
berdasarkan masalah juga meningkatkan kemampuan men-jawab pertanyaan terbuka
dengan banyak alternatif jawaban benar dan pada akhir-nya mampu meningkatkan
kemampuan berpikir kritis berupa peningkatan dari pemahaman ke aplikasi,
sintesis dan analisis (Kronberg dan Griffin, 2000), dan menjadikannya sebagai
pebelajar mandiri (Ommundsen, 2000; Hmelo, 1995). Sedangkan Liliasari (2001)
menyatakan bahwa model pembelajaran yang mampu meningkatkan keterampilan
berpikir konseptual tingkat tinggi calon guru IPA, dikatagorikan menjadi dua
kelompok yaitu untuk materi yang bersifat teoritis menggunakan metode diskusi
sedangkan untuk materi yang ada kegiatan praktikumnya menggunakan metode
pemecahan masalah dan penemuan.
Simpulan
Berdasarkan
deskripsi proses, dan deskripsi produk, dan pembahasan yang telah diuraikan
sebelumnya, dapat ditarik simpulan-simpulan (1) terjadi peningkatan aktivital
belajar siswa yang ditunjukkan oleh peningkatan nilai hasil kerja kelompok dari
siklus I, siklus II, dan siklus III, (2) terjadi peningkatan penguasaan
konsep-konsep biologi mulai dari siklus I, Siklus II dan Siklus III, yang
berarti bahwa terhadi peningkatan hasil belajar siswa dalam pembelajaran
biologi.
Berdasarkan
simpulan-simpulan tersebut, disarankan pada guru untuk menggunakan skenario
seperti pada penelitian ini jika ingin mengaktifkan kinerja siswa untuk
meningkatkan penguasaan konsep-konsep mata pelajaran, khususnya Biologi. Dalam
merancang masalah yang akan diangkat supaya mempertimbangkan masalah yang mampu
meningkatkan kreatifitas anak dan meningkatkan keterlibatan siswa sesuai dengan
tingkat kemampuan kognitifnya. Di samping itu diharapkan agar dalam menerapkan
pembelajaran ini disarankan melibatkan dukungan semua pihak sehingga segala
sesuatu berjalan optimal.
Sumber jurnal :
0 komentar:
Posting Komentar