Selasa, 23 Oktober 2012

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pendidikan

PENERAPAN PENGAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS MASALAH UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR BIOLOGI SISWA KELAS X2 SMA LABORATORIUM SINGARAJA

I Gusti Agung Nyoman Setiawan
Jurusan Pendidikan Biologi Fakultas MIPA Undiksha

Abstrak
Penelitian Tindakan Kelas dengan judul Penerapan Pengajaran Kontekstual Berbasis Masalah Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Biologi Siswa kelas X2 SMA Laboratorium ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan aktivitas siswa dalam mengikuti pelajaran dan hasil belajar biologi siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan interaksi siswa dalam mengikuti pelajaran dan hasil belajar biologi bagi siswa kelas X2 SMA Laboratorium Undiksha.

Pendahuluan
Salah satu tuntutan kurikulum berbasis kompetensi dalam mata pelajaran biologi di SMA adalah agar siswa menguasai berbagai konsep dan prinsip biologi untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap percaya diri sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan sebagai bekal untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi.

Untuk mencapai tujuan agar siswa mempunyai minat dan kemampuan yang baik terhadap biologi berimplikasi pada tugas dan tanggung jawab yang sangat strategis pada guru-guru pengajar biologi di kelas-kelas awal di SMA. Mereka dituntut membantu siswa untuk mendapatkan pemahaman yang baik terhadap konsep-konsep dan prinsip-prinsip biologi untuk memudahkan mereka mempelajari biologi di kelas yang lebih tinggi. Di samping itu pengajar di kelas-kelas awal diharapkan dapat menumbuhkan sikap positif terhadap biologi serta membangkitkan minat mereka terhadap biologi. Ini berarti proses pembelajaran biologi yang dilakukan guru hendaknya memungkinkan terjadinya pengembangan pemahaman konsep, sikap, dan meningkatkan minat siswa terhadap pelajaran biologi.

Pembelajaran berdasarkan masalah sebagai salah satu strategi pembelajaran kontekstual membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah dan keterampilan intelektual berupa belajar berbagai peran orang dewasa dan melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi dan menjadi pebelajar yang otonom. (Arends, 1997; Arends, 2004; Delisle, 1997). Kemampuan berpikir sudah dimiliki siswa sejak mereka lahir. Makin sering orang berhadapan dengan sesuatu yang menuntutnya untuk berpikir makin berkembang dan makin meningkat kemampuan berpikirnya. Seseorang yang tidak memiliki pendidikan formal sekalipun kemampuan berpikirnya akan meningkat apabila dia sering berhadapan dengan berbagai masalah yang harus dipikirkannya (Depdikbud, 1999). Pembelajaran berdasarkan masalah juga meningkatkan kemampuan menjawab pertanyaan terbuka dengan banyak alternatif jawaban benar dan pada akhirnya mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis berupa peningkatan dari pemahaman ke aplikasi, sintesis dan analisis (Kronberg dan Griffin, 2000), dan menjadikannya sebagai pebelajar mandiri (Ommundsen, 2000; Hmelo, 1995).

Metode
Penelitian ini dilaksanakan di SMA Laboratorium Undiksha Singaraja pada kelas X2. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli 2006 sampai dengan pertengahan Nopember 2006. Subjek Penelitian ini adalah siswa kelas X2 SMA Laboratorium Undiksha Singaraja. Penelitian ini dilakukan pada semester ganjil 2006/2007. Penelitian berlangsung selama 6 (enam bulan) dari bulan Juni 2006 s/d bulan Nopember 2006. Pelaksanaan tindakan dilakukan pada bulan Juli 2006 s/d bulan Oktober 2006.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada tahap perencanaan adalah sebagai berikut: (a) Bersama-sama dua orang guru mitra menganalisis kompetensi dasar dan indikator, serta materi yang akan diajarkan dalam rentang waktu Juni s/d Oktober 2006. (b) Bersama guru mitra menyiapkan bahan dan alat laboratorium yang ada serta merancang peralatan yang diperlukan untuk kegiatan demonstrasi atau praktikum. (c) Bersama guru mitra merancang skenario Pengajaran Kontekstuan berbasis masalah. (d) Menyusun rubrik assessmen kegiatan diskusi dan tanya jawab untuk mengukur kualitas interkasi kelas. (e) Menyusun soal-soal akademik maupun realistik untuk digunakan dalam latihan pemecahan masalah maupun dalam test formatif untuk mengukur hasil belajar dalam aspek kognitif. (f) Menyusun rubrik assessment kinerja kegiatan laboratorium untuk mengukur hasil belajar pada aspek psikomotor. (g) Menyusun rubrik untuk mengukur sikap siswa terhadap pelajaran biologi. (h) Melatih guru mengimplementasikan Pengajaran Kontekstual berbasis masalah
Tutorial/Responsi dilakukan setelah tiga kali pertemuan. Pada kegiatan tutorial/responsi siswa dibimbing menyelesaikan masalah-masalah akademik dan realistik secara sistematis. Pemberian dua jenis masalah ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman bahwa konsep-konsep yang dipelajari bukan hanya untuk kepentingan akademik tetapi juga untuk mengatasi masalah sehari-hari. Pada tahap ini siswa dibimbing untuk dapat memvisualisasikan masalah, menyatakan dalam deskripsi fisika, merencanakan solusi, menyelesaikan solusi, dan mengevaluasi jawabannya.

Observasi dilakukan terhadap kesesuaian antara skenario pembalajaran dan implementasinya, pengajaran pemecahan masalah, perhatian dan kesungguhan siswa dalam pembelajaran. Observasi dilakukan berbarengan dengan pelaksanaan tindakan, dan dilakukan oleh dua orang anggota tim peneliti.

Hasil
Proses penelitian pada siklus I yang membahas ruang lingkup Biologi, manfaat dan bahayanya berlangsung dalam dua kali pertemuan. Pertemuan pertama diisi dengan penjelasan tentang kegiatan yang dilakukan dalam mengerjakan LKS berbasis masalah.  Kemudian siswa dituntut untuk memecahkan masalah-masalah autentik serta srukturnya tidak teratur sesuai dengan tujuan pembelajaran (ill structure).

Pelaksanaan siswa dalam membahas masalah tersebut banyak mengalami kesulitan guru beserta peneliti ikut membantu ke masing-masing kelompok dalam mengarahkan apa yang harus mereka pikirkan dan bahas sehubungan dengan masalah tersebut yang muaranya mengetahui ruang lingkup biologi manfaat dan bahayanya, baik itu dari uraian cabang-cabang biologi maupun dari struktur tingkat organisasi biologi dari sel sampai biosfer. Bimbingan yang dilakukan tidak langsung memberikan jawaban atas masalah yang dibahas akan tetapi berupa alternatif-alternatif pemecahan masalah tersebut. Dengan cara seperti itu siswa akhirnya selalu berpikir untuk memecahkan masalah atau mencari jawaban atas masalah yang sedang dihadapi.

Pada pertemuan kedua pelaksanaan kerja kelompok berjalan lebih lancar, siswa terlihat lebih banyak bekerja dibandingkan bertanya. Ini menunjukkan apa yang harus dikerjakan telah dimengerti. Dari diskusi yang dilakukan diketahui kelompok mana yang penguasaan materinya paling bagus. Kriteria yang digunakan dalam menilai adalah hasil kerja kelompok dan kemampuan menjawab pertanyaan dari kelompok lain maupun dari guru. Akhir dari kegiatan ini adalah siswa bersama guru menyimpulkan dan menyempurnakan jawaban siswa. Kemudian Guru mengecek penguasaan materi ini dengan mengajukan beberapa pertanyaan pada beberapa siswa.

Pelaksanaan siklus kedua yang direncanakan tiga kali pertemuan, realisasinya hanya dua kali pertemuan. Proses diskusi kelompok berjalan lebih lancar dibandingkan dengan kegiatan pada siklus satu, melalui bimbingan siswa selanjutnya membuat sejumlah masalah yang membahas tentang keanekaragaman hayati mulai dari keanekaragaman tingkat jenis, sampai keanekaragaman tingkat ekosistem. Siswa disuruh mengurutkan prioritas pemecahan masalah sesuai dengan kesepakatan kelompok, apakah mulai dari keanekaragaman tingkat jenis atau mulai dari keanekaragaman tingkat ekosistem.

Pada diskusi ini, lebih banyak masalah diseputar topik yang disampaikan dibandingkan dengan diskusi pada siklus pertama. Dari banyaknya masalah yang disampaikan serta lebih banyak siswa berpartisipasi menandakan proses belajar berbasis masalah telah berlangsung lebih baik. Walaupun keterlibatan sudah lebih banyak dan masalah lebih beragam, namun tingkat kesulitan masalah serta pembahasan dari siswa perlu ditingkatkan. Disinilah peran guru untuk mengarahkan sehingga siswa selalu berpikir untuk membahas masalah lebih dalam dan alternatif pemecahan masalah lebih beragam.

Pada pertemuan kedua siklus II ini siswa diberikan LKS berupa pengelompokan makhluk hidup berdasarkan ciri yang ditentukan oleh kelompok siswa tersebut.
Pada Siklus ketiga yang direncanakan dilaksanakan dalam delapan kali tatap muka untuk keseluruhan materi sampai akhir semester

Pada pelaksanaan tatap muka kedua siklus III ini yang membahas Monera utamanya bakteri diberikan LKS berupa penyakit Kelamin Spilis dan LKS berupa pemanfaatan mikroba khususnya bakteri pada pembersihan air limbah, maupun penggunaan EM4 (Effective microorganism) yang membantu proses perombakan bahan organik dalam tanah sehingga mengurangi penggunaan pupuk buatan. Dari masalah-masalah tersebut siswa menjadi mengerti mikroorganisma tersebut yang langsung bermanfaat bagi kehidupan sehari-harinya, sehingga belajar menjadi lebih bermakna. Proses kerja kelompok menjadi lebih serius karena siswa mengerjakan apa yang dia belum ketahui menjadi terpikirkan oleh siswa. Guru memberikan penjelasan secara ringkas prinsip-prinsipnya kemudian contoh pengembangannya ditugaskan pada siswa untuk mencarinya.

Pembahasan
Berdasarkan diskripsi proses dan hasil penelitian di atas dapat dikemukakan bahwa pembelajaran berbasis masalah yang digunakan sebagai solusi untuk meningkatkan penguasaan konsep telah menunjukkan hasilnya. Pembelajaran yang diseting dalam kerja kelompok dalam karangka memecahkan masalah telah mampu menunjukkan hasil yang sangat baik. Hal ini diakibatkan karena proses pengkonstruksian pengetahuan dilakukan secara bersama-sama menggantikan proses pembelajaran klasikal dengan sistem ceramah yang proses pengkonstruksian pengetahuan dilakukan sendiri-sendiri sesuai dengan apa yang ditangkap oleh siswa secara individu. Pengkonstruksian pengetahuan secara bersama-sama melalui kerja kelompok memungkinkan siswa dapat meng-ungkapkan gagasan, mendengarkan pendapat orang lain dan secara bersama-sama membangun pengertian (Von Glasersfeld, 1989 dalam Pannen et al., 2001). Ride-way dan Padilla, (1998) menyatakan bahwa melalui diskusi yang dilakukan bersa-ma-sama dalam satu kelompok merupakan panduan dalam meningkatkan kemam-puan berpikirnya. Dari pernyataan tersebut terlihat bahwa proses berpikir siswa dilakukan melalui diskusi. Diskusi yang aktif tentu melibatkan semua anggota kelompok yang sedang berdiskusi. Kebiasaan yang selalu dilatih melalui kegiatan kerja bersama memungkinkan kemampuan siswa tidak terlalu jauh berbeda. Trautmann et al (2000) mengatakan bahwa penyelidikan bersama-sama mening-katkan motivasi untuk bekerja lebih keras dan mendorong siswa untuk berpikir kritis dan mendiskusikan setiap asumsi dan interpretasi yang dimilikinya. Dengan melakukan interpretasi secara bersama-sama pandangan terhadap suatu masalah menjadi sama sehingga jika semua kegiatan dilakukan seperti ini maka secara otomatis semua pengetahunan yang dimiliki oleh siswa menjadi sama.

Wang et al (1998) berpendapat bahwa belajar kelompok sangat penting dalam pembelajaran berdasarkan masalah. Dalam kerja kelompok setiap siswa yang menjadi anggota kelompok mendapatkan tanggung jawab dalam kesuksesan kelompoknya. Mereka saling membantu untuk mengetahui dimana, apa dan ba-gaimana mereka mempelajari informasi itu. Dengan demikian pembentukan ke-lompok dalam strategi pembelajaran berdasarkan masalah menjadikan siswa pebe-lajar yang aktif, karena setiap anggota kelompok memegang tanggung jawab ter-tentu untuk kesusksesan kelompoknya.

Dalam pembelajaran berdasarkan masalah yang membahas masalah autentik dengan struktur yang kompleks dan tidak teratur jarang ditemukan langkah yang sama dalam pemecahannya. Siswa selalu diajak berpikir bagaimana menemukan jalan keluar melalui langkah kunci. Masalah autentik sesungguhnya berubah-ubah pada tujuan, isi, rentangan, dan pengaruhnya tidak linier. Latihan-latih-an memecahkan masalah autentik ini menjadikan siswa selalu memberdayakan kemampuan berpikirnya dan menjadikan siswa mempunyai kemampuan berpikir yang lebih tinggi sehingga mampu memecahkan masalah riil dan mengkaitkannya dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai(Jones, 1996).

Pembelajaran berdasarkan masalah juga meningkatkan kemampuan men-jawab pertanyaan terbuka dengan banyak alternatif jawaban benar dan pada akhir-nya mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis berupa peningkatan dari pemahaman ke aplikasi, sintesis dan analisis (Kronberg dan Griffin, 2000), dan menjadikannya sebagai pebelajar mandiri (Ommundsen, 2000; Hmelo, 1995). Sedangkan Liliasari (2001) menyatakan bahwa model pembelajaran yang mampu meningkatkan keterampilan berpikir konseptual tingkat tinggi calon guru IPA, dikatagorikan menjadi dua kelompok yaitu untuk materi yang bersifat teoritis menggunakan metode diskusi sedangkan untuk materi yang ada kegiatan praktikumnya menggunakan metode pemecahan masalah dan penemuan.

Simpulan
Berdasarkan deskripsi proses, dan deskripsi produk, dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, dapat ditarik simpulan-simpulan (1) terjadi peningkatan aktivital belajar siswa yang ditunjukkan oleh peningkatan nilai hasil kerja kelompok dari siklus I, siklus II, dan siklus III, (2) terjadi peningkatan penguasaan konsep-konsep biologi mulai dari siklus I, Siklus II dan Siklus III, yang berarti bahwa terhadi peningkatan hasil belajar siswa dalam pembelajaran biologi.

Berdasarkan simpulan-simpulan tersebut, disarankan pada guru untuk menggunakan skenario seperti pada penelitian ini jika ingin mengaktifkan kinerja siswa untuk meningkatkan penguasaan konsep-konsep mata pelajaran, khususnya Biologi. Dalam merancang masalah yang akan diangkat supaya mempertimbangkan masalah yang mampu meningkatkan kreatifitas anak dan meningkatkan keterlibatan siswa sesuai dengan tingkat kemampuan kognitifnya. Di samping itu diharapkan agar dalam menerapkan pembelajaran ini disarankan melibatkan dukungan semua pihak sehingga segala sesuatu berjalan optimal.

Sumber jurnal :


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © Ocha's Blog